Lebih lanjut, Fifi menegaskan bahwa semangat utama UU Pers adalah menjamin kemerdekaan pers, bukan menatanya secara administratif melalui peraturan pemerintah.
Karena itu, pelaksanaannya diserahkan kepada Dewan Pers dan organisasi pers secara independen.
Baca Juga:
Halangi Wartawan Liput Pendaftaran Bapaslon, Komisioner-Sekretaris KPU Gunungsitoli Dipolisikan
Ia menambahkan, perlindungan terhadap wartawan tidak hanya bersumber dari UU Pers, tetapi juga diperkuat melalui berbagai perangkat hukum lainnya.
Instrumen tersebut mencakup Peraturan dan Pedoman Dewan Pers, Keputusan Bersama antara Dewan Pers dan lembaga lain, serta dukungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Komnas Perempuan, terutama untuk kasus kekerasan berbasis gender terhadap jurnalis perempuan.
Fifi menilai, ekosistem regulasi tersebut sudah cukup kuat dalam menjamin kepastian hukum dan perlindungan martabat wartawan, agar mereka dapat bekerja secara profesional, independen, dan bebas dari tekanan.
Baca Juga:
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto Diperiksa Polisi Hingga Rencana Pemanggilan KPK
“Perlindungan hukum bagi wartawan tidak dapat disamakan dengan imunitas profesi lain. Perlindungan bukan berarti kekebalan hukum,” jelasnya.
Terkait kekhawatiran pemohon terhadap kriminalisasi wartawan melalui pasal-pasal karet, Fifi mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah memberikan penegasan penting mengenai batasan hukum dalam aktivitas pemberitaan.
Ia mengutip Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024, yang mempertahankan frasa “tanpa hak” dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), karena dinilai penting untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan perlindungan terhadap kepentingan hukum yang sah, termasuk kegiatan jurnalistik dan akademik.