Akhirnya, Suhartoyo menjadi anggota hakim MK pada 7 Januari 2015 untuk menggantikan Ahmad Fadlil Sumadi. Ia merupakan keterwakilan hakim dari Mahkamah Agung.
Suhartoyo adalah salah dari empat hakim yang berbeda pendapat (dissenting opinion) pada sidang gugatan capres-cawapres berusia minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Baca Juga:
Peran Anwar Usman di Sengketa Pilkada 2024 Masih Dipertimbangkan MK
"MK seharusnya juga tidak memberikan kedudukan hukum kepada Pemohon karena tidak ada relevansinya untuk mempertimbangkan pokok permohonan, sehingga dalam amar putusan a quo, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima," kata Suhartoyo membacakan dissenting opinion-nya.
Sebelumnya, Suhartoyo juga salah satu dari empat hakim yang memiliki pendapat berbeda terhadap putusan MK tentang UU Nomor 6 tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi UU tetap konstitusional.
Ia bersama Wahiddudin Adam, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih menyampaikan dissenting opinion terkait gugatan UU Ciptaker. Namun, pendapat tersebut tidak dibacakan maupun ditampilkan dalam sidang.
Baca Juga:
Putusan PTUN yang Menangkan Anwar Usman Dinilai Pakar HTN Banyak Kelemahan
Selain itu, ia juga dissenting opinion dalam gugatan Pasal 222 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur soal ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen, pada 2022 lalu.
Suhartoyo dalam penjelasannya menilai bahwa ambang batas atau presidential threshold 20 persen harus dihapuskan. Namun, suaranya kalah dengan suara mayoritas hakim yang masih memilih memberlakukan ambang batas 20 persen.
[Redaktur: Alpredo Gultom]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.