Banyak pihak telah menyampaikan suara kerasnya bahwa COP 26 ini menjadi momentum krusial, genting, dan kesempatan terakhir bagi para pemimpin negara, karena tidak ada lagi kemewahan untuk terus menerus mengulur waktu.
Paus Fransiskus telah menyerukan kepada para pemimpin dunia untuk mendengarkan suara bumi dan orang-orang miskin.
Baca Juga:
Pesta Raya Flobamoratas, Ajang Festival Mendekatkan Isu Perubahan Iklim kepada Masyarakat Luas
Kaum miskin akan mengalami bencana lebih besar dan berlipat ganda karena krisis iklim dan karena kemiskinannya.
Namun, tidak sedikit juga yang merasa bahwa COP 26 ini tidak akan berpengaruh signifikan terhadap keselamatan bumi dan semua makhluk di dalamnya.
Terutama generasi muda yang menilai para pemimpin negara telah gagal mengendalikan krisis iklim, dan masa depan mereka dihancurkan.
Baca Juga:
Hadapi Krisis Iklim Global di NTT, VCA Gelar Dialog Publik Bertajuk "Suara Bae Dari Timur"
Kaum muda secara lantang juga menyatakan bahwa KTT Perubahan Iklim yang berlangsung dari tahun ke tahun hanyalah negosiasi elite politik dunia dan kekuatan kapitalisme yang menjelma dalam monster oligarkh yang tiada henti mengeruk sumber daya alam.
Komitmen pemimpin negara tak lebih hanya omong kosong dan bla bla bla…
Alih-alih bertanggung jawab dengan mengoreksi paradigma pembangunan global, para pemimpin dunia justru menggunakan krisis iklim ini untuk melanggengkan kepentingan ekonomi dan politik.