Hal ini menjadi kendala dalam penerapan MLA karena tidak semua negara mitra mengakui "kerugian negara" sebagai elemen utama dalam tindak pidana korupsi.
Selain itu, Indonesia perlu mengadopsi pendekatan yang lebih terfokus, menangani kejahatan yang terukur seperti penggelapan atau suap, daripada memperluas ruang lingkup kejahatan yang berdampak tidak langsung, seperti dampak polusi atau keputusan bisnis yang merugikan.
Baca Juga:
Terkait Kasus LNG, Eks Dirut Pertamina Nicke Widyawati Diperiksa KPK
Masalah lain yang dihadapi adalah kurangnya perlindungan bagi pelaku bisnis dalam hukum Indonesia, khususnya terkait dengan prinsip Business Judgment Rules (BJR) dan Governance, Risk, and Compliance (GRC), yang dapat memberikan perlindungan bagi mereka yang menjalankan tata kelola yang baik.
Dalam sistem hukum civil law Indonesia, perlindungan ini tidak sekomprehensif dalam sistem hukum common law, sehingga pelaku bisnis yang bertindak sesuai prosedur pun sering kali terjerat hukum.
Pendekatan ini selaras dengan prinsip pemidanaan sebagai ultimum remedium, yakni menjadikan pidana sebagai upaya terakhir.
Baca Juga:
Pembangunan Gerbang Rumah Dinas Bupati Lampung Timur Rp6,9 Miliar Berbau Korupsi
Tujuannya adalah mengurangi dampak negatif hukuman pidana, seperti overkapasitas di lembaga pemasyarakatan, mempercepat pengembalian kerugian negara, serta menciptakan keseimbangan antara kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan.
Korupsi memiliki dampak besar terhadap iklim investasi di Indonesia, dengan indeks persepsi korupsi yang tinggi menjadi hambatan bagi investor asing.
Oleh karena itu, kebijakan yang berbasis transparansi dan keadilan dapat memperbaiki peringkat Ease of Doing Business, mendukung pertumbuhan ekonomi, dan memastikan kepatuhan hukum tanpa menghambat aktivitas bisnis.