“Tercatat, RPH tanggal 19 September 2023 tersebut tidak dihadiri oleh Hakim Konstitusi dan sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman,” ujar hakim Saldi.
Melansir Kompas, hasil RPH menyatakan bahwa enam hakim konstitusi, MK sepakat menolak permohonan pemohon. Enam hakim juga tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka atau open legal policy pembentuk undang-undang.
Baca Juga:
Respons Putusan PTUN Jakarta, Anwar Usman Ajukan Banding
Sementara itu, dua hakim konstitusi lainnya memilih sikap berbeda atau dissenting opinion.
Mahkamah lantas menggelar RPH berikutnya untuk memutus perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 dan nomor 91/PUU-XXI/2023 yang juga menyoal syarat usia capres-cawapres dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu,
RPH kedua itu dihadiri oleh sembilan hakim kosntitusi, tak terkecuali Anwar Usman.
Baca Juga:
Peran Anwar Usman di Sengketa Pilkada 2024 Masih Dipertimbangkan MK
Dalam RPH tersebut, ungkap Saldi, beberapa hakim yang semula memosisikan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 sebagai kebijakan hukum terbuka tiba-tiba menunjukkan ketertarikan dengan model alternatif yang dimohonkan pemohon dalam petitum Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
“Sebagian hakim konstitusi dalam putusan MK nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 yang berada pada posisi Pasal 169 huruf q sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, kemudian pindah haluan dan mengambil posisi akhir dengan ‘mengabulkan sebagian’ perkara nomor 90/PUU-XXI/2023,” ungkap Saldi.
Dari lima hakim konstitusi yang menyetujui untuk "mengabulkan sebagian" gugatan nomor 90/PUU-XXI/2023, tiga hakim mengusulkan syarat alternatif bahwa jika seseorang belum mencapai usia 40 tahun, mereka masih dapat mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden jika memiliki pengalaman dalam menjabat jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk kepala daerah.