Kehadiran presidential threshold dinilai hanya memberikan akses khusus kepada para elite politik yang memiliki kekuatan, tanpa menimbang dengan matang kualitas dan kapabilitas serta keahlian setiap individu.
Padahal, begitu banyak putra-putri daerah yang hebat dan mampu serta sangat layak untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden.
Baca Juga:
Soal Fahri Hamzah, Kader PD dan Jubir PKS Berbalas Pantun
"Bahwa eksistensi ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu nyatanya telah merugikan daerah dan semakin memperlebar kesenjangan antara daerah dan pusat," demikian petikan berkas permohonan.
Tak hanya itu, menurut Yusril, presidential threshold telah menghalangi partainya untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden. Sebab, pada pemilu sebelumnya suara PBB tak sampai 20 persen dari jumlah kursi DPR.
"Bahwa sebagai partai politik peserta pemilu, Pemohon II seharusnya memiliki hak konstitusional untuk mengusung Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ketentuan dalam Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945," bunyi permohonan.
Baca Juga:
Dicibir Gerindra soal Gugatan “Presidential Threshold”, Ini Pembelaan Diri PKS
Menurut para pemohon, ketentuan tentang presidential threshold yang dimuat dalam Pasal 222 UU Pemilu telah melanggar Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945.
Pasal tersebut mengamanatkan presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat dengan mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilu atau sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Oleh para pemohon, pemberlakuan Pasal 222 UU Pemilu juga dinilai telah mengakibatkan adanya ketidakadilan dan diskriminasi dalam proses pemilu presiden dan wakil presiden.