WAHANANEWS.CO, Yogyakarta – Menjelang diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional pada 2 Januari 2026, kebutuhan akan hukum acara pidana yang baru menjadi semakin mendesak.
Dalam konteks itu, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) hadir sebagai rancangan besar untuk menata ulang sistem peradilan pidana Indonesia agar lebih modern, humanis, dan berorientasi pada perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).
Baca Juga:
Sosok Rizky Aflaha, Baru Berusia 25 Tahun Raih Gelar Doktor Termuda UGM
Urgensi pembaruan inilah yang menjadi fokus Seminar Nasional bertajuk “RKUHAP di Persimpangan Jalan: Reformasi Peradilan atau Regresi Penegakan Hukum”, yang digelar oleh Keluarga Magister Hukum Litigasi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (KMHLi FH UGM) di Gedung V.I.I. Fakultas Hukum UGM, dikutip Sabtu (1/11/2025).
Seminar Nasional ini menghadirkan sejumlah narasumber lintas institusi, di antaranya Edward O.S. Hiariej (Wakil Menteri HukumI), Jupriyadi (Hakim Agung MA RI), Maqdir Ismail (Ketua Umum Ikadin), Rini Triningsih (Asisten Pembinaan Kejati DIY), Roedy Yoelianto (Dirresnarkoba Polda DIY), dan Julian Duwi Prasetia (Direktur LBH Yogyakarta).
Dalam pemaparannya, Edward O.S. Hiariej menjelaskan bahwa menyusun RKUHAP bukan perkara sederhana. Hukum acara pidana, menurutnya, berada pada posisi antinomi yakni dua kepentingan hukum yang tampak bertentangan tetapi harus saling melengkapi.
Baca Juga:
Tegar Anak Kedokteran UGM Terapkan Strategi Belajar Ini, IPK Sempurna 7 Semester
“Tidak mudah memformulasikan hukum acara pidana yang mengakomodir seluruh kepentingan. Dalam teori hukum dikenal istilah antinomi hukum, yaitu keadaan saling bertentangan yang tidak boleh menegasikan, tetapi harus melengkapi,” tuturnya.
Menurut Guru Besar UGM yang kerap disapa Prof Eddy ini, KUHAP didasarkan pada doktrin Ius Puniendi, yakni hak negara untuk memproses, menuntut, menghukum, dan melaksanakan pidana. Namun, di sisi lain, landasan filosofisnya adalah melindungi individu dari kesewenangan negara.
“Filosofi KUHAP bukan untuk memproses tersangka, melainkan melindungi individu dari kesewenangan negara,” ujarnya.