Filosofi KUHP Nasional yang baru, lanjutnya, adalah mencegah sebanyak mungkin penjatuhan pidana penjara. Karena itu, sistem pembinaan dan hukuman alternatif seperti pidana kerja sosial, denda, atau pembimbingan kemasyarakatan akan lebih diutamakan.
Kewenangan Baru Jaksa dan Batasan Upaya Hukum
Baca Juga:
Pertamina Peringati Hari Jadi dengan Penghijauan
RKUHAP juga memperkenalkan dua kewenangan baru bagi jaksa yaitu: 1) Ple Bargaining, yakni perubahan proses acar pemeriksaan biasa menjadi acara pemeriksaan singkat apabila terdakwa mengakui kesalahan; 2) Deferred Prosecution Agreement, yakni perjanjian penundaan penuntutan yang berlaku khusus bagi korporasi.
Selain itu, penyidik berwenang menerima pengakuan bersalah dari tersangka dan menyampaikannya kepada jaksa sebagai dasar untuk ple bargaining. Penyidik pun dapat menetapkan seseorang sebagai saksi mahkota, sepanjang dikoordinasikan dengan penuntut umum.
Dalam konteks upaya hukum, Edward menegaskan bahwa Peninjauan Kembali (PK) bukanlah peradilan tingkat empat, melainkan upaya hukum luar biasa sebagai sarana koreksi yang sangat terbatas dimana prinsip utama PK adalah Reformatio in Melius artinya PK harus memutus yang lebih ringan dari pengadilan terakhir. Pasal 263 KUHAP lama, jika MA menerima PK maka hanya ada 4 jenis putusan yakni tidak menerima tuntutan PU, lepas, bebas atau menerapkan hukuman yang lebih ringan.
Baca Juga:
Gabriel Lele Tekankan Co-Planning sebagai Arah Baru Kolaborasi Paguyuban PANRB
Kemudian RKUHAP juga mengatur agar perkara dengan ancaman pidana di bawah lima tahun tidak dapat dikasasi, sehingga sistem peradilan menjadi lebih efisien dan berkepastian.
Digitalisasi dan Transparansi Proses Hukum
Sebagai penutup, Edward menyoroti pentingnya modernisasi sistem peradilan pidana berbasis teknologi informasi. Melalui digitalisasi, masyarakat dapat memantau perkembangan perkara secara terbuka, termasuk tindakan upaya paksa yang dilakukan aparat.