WahanaNews.co | KPK tetapkan Rektor Universitas Lampung (Unila) Prof Dr Karomani sebagai tersangka kasus dugaan suap penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri di kampusnya.
Lantas, bagaimana nasib mahasiswa yang lulus dengan cara menyuap Karomani?
Baca Juga:
Perkembangan Kasus Suap Penerimaan Maba: Mantan Rektor Unila Segera Disidang
Inspektur Investigasi Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan Lindung Sirait mengaku masih belum bisa memutuskan nasib para mahasiswa tersebut.
Namun, dia bakal melakukan kajian dan evaluasi terkait hal tersebut.
"Ini mungkin yang perlu kajian dan evaluasi. Apakah mahasiswa yang masuk karena adanya pemberian suap ini, statusnya bagaimana? Saya belum dapat mengambil putusan," kata Lindung dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Minggu (21/8/2022).
Baca Juga:
Masyarakat Antikorupsi Minta Unila Gugurkan Mahasiswa yang Masuk Jalur Suap
Kendati demikian, dia mengatakan bakal merapatkan hal tersebut secara internal terkait status para mahasiswa yang masuk lewat jalur suap itu.
Menurutnya, ada pelanggaran hukum dari hal tersebut.
"Ini mungkin akan kami rapatkan di Kementerian. Bagaimana status mahasiswa ini. Karena ini juga menyangkut, pertama ada pelanggaran hukum. Namun, mahasiswanya bagaimana ini," ujar Lindung.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyebut para mahasiswa yang masuk dengan cara menyuap itu merupakan kecacatan yuridis.
Namun, hal itu masih dalam ranah peraturan perguruan tinggi masing-masing.
"Ini kan urusannya, urusan administrasi. Jadi rekrutmen mahasiswa baru sampe kelulusan itu adalah administrasi akademik. Kalau ada cacat yuridis di dalamnya, tentu kemudian di masing perguruan tinggi itu ada aturan masing-masing ya," kata Ghufron.
Dia menganalogikan hal itu dengan perekrutan sumber daya manusia.
Jika terjadi cacat yuridis berupa tindak pidana korupsi, tentunya ada konsekuensi administrasi.
"Contoh, kita rekrut SDM, naikkan pangkat SDM. Kalo ada cacat yuridis yang ditemukan salah satunya korupsi, tentu kemudian ada konsekuensi administrasinya," terangnya.
Adapun lebih lanjut terkait nasib mahasiswa itu Ghufron menyebut KPK bakal menghormati peraturan Unila.
Selain itu, dia juga bakal menyerahkan sepenuhnya kepada pihak Kemendikbud.
"Persoalan administrasi, konsekuensi bagi mahasiswanya, itu kami menghormati peraturan di masing-masing peraturan administrasi akademik perguruan tinggi masing-masing, termasuk juga di peraturan pendidikan tinggi di Kemendikbud," ucap Ghufron.
Sebelumnya, Rektor Unila Prof Dr Karomani ditetapkan jadi tersangka suap penerimaan mahasiswa usai terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Jumat (19/8).
Selain Karomani, KPK juga menjaring tujuh orang lainnya di Lampung, Bandung dan Bali.
KPK menduga Karomani aktif terlibat langsung dalam penentuan kelulusan calon mahasiswa baru Seleksi Mandiri Masuk Universitas Lampung (Simanila).
Dia mematok harga yang bervariasi mulai dari Rp 100 juta hingga Rp 350 juta untuk meluluskan calon peserta yang mengikuti Simanila.
Dalam OTT itu, KPK menyita uang tunai berjumlah Rp 414,5 juta, slip setoran deposito dengan nilai Rp 800 juta hingga kunci safe deposit box yang diduga berisi emas senilai Rp 1,4 miliar.
Selain itu, KPK turut menyita kartu ATM dan buku tabungan berisi uang sebesar Rp 1,8 miliar.
KPK menduga karomani menerima uang suap senilai Rp 5 miliar.
Jumlah diduga berasal dari pihak orang tua yang diluluskan Karomani.
Uang tersebut diduga telah dialihkan dalam bentuk deposito, emas batangan dan juga masih tersimpan dalam bentuk tunai.
Berikut ini daftar tersangka kasus suap penerimaan mahasiswa baru:
Sebagai Pemberi:
- Andi Desfiandi selaku pihak swasta.
Sebagai Penerima:
- Karomani selaku Rektor Unila
- Heryandi selaku Wakil Rektor I Bidang Akademik
- Muhammad Basri selaku Ketua Senat Unila
Akibat perbuatannya, Andi Desfiandi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Korupsi.
Sedangkan Karomani, Heryandi, dan Muhammad Basri disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. [rsy]