Lebih lanjut, Gufroni mengungkapkan bahwa kasus ini tidak hanya melibatkan Kades Kohod, tetapi juga melibatkan 16 kepala desa lainnya yang ikut serta dalam penerbitan sertifikat tanah di sepanjang perairan pagar laut tersebut.
"Hanya saja, Desa Kohod menjadi proyek percontohan dalam skema besar untuk mengkapling lautan. Karena Desa Kohod sudah berhasil menerbitkan SHGB dan SHM untuk 180 bidang tanah, ke-16 kepala desa lainnya pun mengajukan permohonan serupa ke BPN Kabupaten Tangerang," tambahnya.
Baca Juga:
Banyak SHM Ganda di Indonesia, Ternyata Ini Biang Keroknya
Atas kasus ini, LBHAP PP Muhammadiyah merekomendasikan agar penyidik Bareskrim Polri menelusuri aliran dana yang terlibat dalam pemalsuan SHGB dan SHM tersebut.
"Itu yang perlu diperiksa, apakah Arsin bersedia menjadi justice collaborator melalui pengacaranya. Jika dia mengajukan diri sebagai justice collaborator, maka dia bisa mengungkap semua pihak yang terlibat, modus operasinya, serta aliran dananya. Jika permohonannya diterima, ancaman hukumannya bisa lebih ringan, dan dia juga bisa mendapatkan perlindungan dari LPSK," papar Gufroni.
Di sisi lain, Kades Kohod, Arsin bin Arsip, mengklaim dirinya adalah korban dalam kasus penerbitan SHGB dan SHM pagar laut yang menyeret namanya.
Baca Juga:
Kades Kohod dan Tiga Orang Lainnya Jadi Tersangka Pemalsuan Sertifikat Tanah
Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam klarifikasi menyusul sorotan publik atas kasus pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di perairan pesisir pantai utara (Pantura) Kabupaten Tangerang.
"Saya ingin menyampaikan bahwa saya juga menjadi korban dari perbuatan pihak lain," ujar Arsin.
Ia mengaku bahwa keterlibatannya dalam kasus SHGB dan SHM ini terjadi akibat kurangnya pemahaman mengenai penerbitan surat kepemilikan tanah, yang akhirnya berujung pada penerbitan sertifikat tanah.