WAHANANEWS.CO, Deli Serdang - Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sumatera Utara (Sumut) mengambil tindakan tegas dengan membongkar pagar yang diduga berdiri secara ilegal di pesisir pantai Desa Regemuk, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang.
Keberadaan pagar tersebut menimbulkan keresahan di kalangan warga, karena terletak di dalam kawasan hutan lindung yang seharusnya dilindungi.
Baca Juga:
Hutan Lindung Dipagari Pengusaha Tambak, DPRD Deli Serdang Turun Tangan
Menanggapi langkah tegas pemerintah, PT Tun Sewindu, perusahaan yang memasang pagar tersebut, akhirnya angkat bicara.
Kuasa Hukum PT Tun Sewindu, Junirwan Kurnia, mengakui bahwa sebagian lahan tambak yang dikelola perusahaannya memang masuk dalam kawasan hutan lindung.
Namun, ia menegaskan bahwa hanya 10 hingga 12 persen dari total luas lahan perusahaan yang terdampak aturan tersebut.
Baca Juga:
Bus Pelangi Hangus Terbakar di Tol Medan-Kualanamu, Polisi: Sopir Hilang Konsentrasi
"Memang ada sebagian kecil areal tambak yang masuk ke kawasan hutan, sekitar 10 sampai 12 persen dari total luas 40 hektare. Pagar yang dibangun sepanjang 900 meter itu hanya berada di bagian depan," ujar Junirwan, Senin (24/2/2025).
Junirwan menjelaskan bahwa lahan tersebut dibeli PT Tun Sewindu dari masyarakat pada tahun 1982. Saat itu, pihaknya tidak mengetahui bahwa sebagian lahan termasuk kawasan hutan lindung.
Pagar pertama kali dibangun pada 1988 dan baru-baru ini dipugar kembali.
"Pagar ini sudah berdiri sejak 1988, terbuat dari beton setinggi 40-50 sentimeter yang disambung dengan pagar seng. Kami tidak tahu sebelumnya bahwa lahan ini masuk kawasan hutan. Pemugaran pagar yang dilakukan baru-baru ini hanyalah penggantian pagar lama yang telah rusak," jelasnya.
PT Tun Sewindu mengklaim memiliki dasar kepemilikan lahan berupa Surat Keputusan (SK) dari lurah dan camat serta perizinan usaha dari pemerintah setempat.
"Tanah ini dibeli dari masyarakat pada 1982 dengan dasar SK camat dan lurah. Sementara perizinan usaha yang kami miliki lengkap dari pemerintah setempat," tambahnya.
Junirwan juga mengungkapkan bahwa perusahaan saat ini tengah menunggu penyelesaian status lahan yang termasuk dalam kawasan hutan lindung melalui skema Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
Ia menyebut bahwa PT Tun Sewindu telah melaporkan kondisi lahan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Cipta Kerja.
"Sesuai anjuran pemerintah, klien kami dikategorikan sebagai pihak yang mengalami keterlanjuran, sehingga mengikuti skema penyelesaian berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja. Kami telah melaporkan kondisi lahan ini dan menerima SK dari Menteri terkait skema TORA. Nantinya, pemerintah akan menentukan pola penyelesaian, apakah berupa ganti rugi atau mekanisme lainnya," jelasnya.
Lebih lanjut, ia menuding adanya pihak-pihak tertentu yang memprovokasi polemik ini. PT Tun Sewindu juga telah melaporkan dugaan perusakan yang terjadi sebelum pembongkaran pagar oleh Pemprov Sumut.
"Saya melihat ada pihak-pihak tertentu yang menjadi provokator dalam permasalahan ini," tegasnya.
Sebelumnya, warga Desa Regemuk merasa resah dengan keberadaan pagar yang membentang di sepanjang pesisir pantai. Pagar tersebut akhirnya dibongkar oleh pemerintah bersama masyarakat.
Ketua Kelompok Tani Hutan Forest Tree Desa Regemuk, Tuah (36), menyebut bahwa pemagaran ini sudah berlangsung hampir satu bulan.
Warga sempat mencoba menghentikan aktivitas tersebut, namun pekerja yang memasang pagar tidak mengindahkan protes mereka, bahkan sempat terjadi adu mulut.
"Waktu pemasangan pagar itu, kami sudah menegur, bahkan ada cekcok di depan aparat desa. Namun, hingga kini tidak ada kejelasan siapa penanggung jawab utamanya," ujar Tuah, Minggu (23/2/2025).
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sumut, Yuliani Siregar, mengonfirmasi bahwa pagar tersebut telah dibongkar bersama masyarakat. Pembongkaran dilakukan setelah pihaknya menerima laporan dari warga.
"Kami langsung turun ke lapangan dan melakukan pembongkaran bersama warga," ujar Yuliani.
Ia menegaskan bahwa tindakan ini diambil karena pagar tersebut berdiri di dalam kawasan hutan lindung.
"Alasan utama pembongkaran adalah pengaduan dari masyarakat serta status lahan yang merupakan hutan lindung. Tidak ada pihak yang bisa memiliki kawasan hutan lindung tanpa izin resmi," tegasnya.
Menurutnya, kawasan hutan lindung di lokasi tersebut mencapai lebih dari 200 hektare, sementara area yang telah dipagari sekitar 48 hektare.
"Lahan yang dipagar sekitar 48 hektare, sementara luas keseluruhan hutan lindung di area itu mencapai lebih dari 200 hektare," pungkasnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]