Di Indonesia, penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui jalur litigasi maupun non-litigasi, termasuk melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Namun, efektivitas BPSK di sejumlah daerah masih belum mumpuni, mengingat keterbatasan kewenangan dan sumber daya yang mereka miliki.
Baca Juga:
Banjir Keluhan, YLKI: Sektor Keuangan dan E-Commerce Paling Banyak Diadukan
“BPSK sering kali dihadapkan pada keterbatasan anggaran dan personel yang tidak memadai, sehingga proses penyelesaian sengketa lambat dan kurang optimal,” kata Tohom.
Ia menegaskan bahwa penguatan peran BPSK harus menjadi prioritas utama dalam reformasi perlindungan konsumen.
“Harus ada peningkatan kapasitas BPSK baik dari segi anggaran, kewenangan, maupun aksesibilitas bagi masyarakat. Pemerintah juga harus memperjelas mekanisme eksekusi putusan BPSK agar memiliki daya ikat yang lebih kuat,” tambahnya.
Baca Juga:
Kunjungi Pasar Rakyat di Medan, Mendag Busan: Harga Bapok Stabil, Cenderung Turun
Urgensi Penguatan Regulasi dan Pengawasan
Selain menguatkan BPSK, Tohom yang juga Anggota Aliansi Konsumen ASEAN menegaskan bahwa pengawasan terhadap pelaku usaha harus diperketat.
“Di tengah dinamika sektor jasa keuangan dan pesatnya perkembangan e-commerce, tantangan pengawasan semakin kompleks. OJK, Bank Indonesia, dan Kemendag perlu terus memperkuat mekanisme deteksi dini terhadap pelanggaran yang terstruktur dan berdampak luas bagi konsumen. Penerapan sanksi yang proporsional, termasuk kemungkinan pencabutan izin usaha dalam kasus pelanggaran sistematis, krusial untuk menjaga kepercayaan publik,” bebernya.