Saat
ini, Indonesia menghadapi tantangan terkait isu lingkungan, karena
jumlah PLTU dan pemanfaatan batu bara yang disebut menghasilkan emisi
karbondioksida itu dinilai memicu peningkatan suhu bumi.
"Akibat
isu lingkungan inilah industri batu bara menghadapi tantangan. Kita harus bisa
menjawab tantangan ini," kata Eko.
Baca Juga:
Ratu Batu Bara Tan Paulin Diperiksa KPK di Kasus Rita Widyasari
Dalam
penelitian yang dilakukan Badan Geologi sejak 2018 hingga 2020 di Sumatera
Selatan dan Kalimantan Timur, batu bara mengandung logam tanah jarang atau Rare Earth Element (REE) sebesar 200
ppm, sedangkan konsentrasi dalam abu batu bara bisa mencapai 10 kali lipat atau
sekitar 2.000 ppm.
Seperti
diketahui, pemerintah saat ini tengah berupaya untuk meningkatkan nilai tambah
batu bara melalui mekanisme hilirisasi sebagai upaya memaksimalkan potensi
sumber batu bara dalam negeri yang masih melimpah.
Dosen
Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada, Ferian Anggara, mengatakan, Indonesia harus melakukan studi komprehensif terkait
karakteristik batu bara dan karakteristik FABA untuk bisa memaksimalkan potensi
tersebut.
Baca Juga:
KPK Ungkap Eks Bupati Kukar Dapat US$5 per Matrik Ton dari Perusahaan Batu Bara
Mengacu
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2017 tentang Energi Baru dan Terbarukan,
lanjut dia, batu bara masuk ke dalam renewable
energy melalui program hilirisasi berupa gasifikasi maupun likuifaksi.
"Kita
harus melihat batu bara tidak hanya sebagai komoditas, tetapi sebagai suatu
kesatuan utuh yang bisa dimanfaatkan mulai dari eksisting untuk suplai
pembangkit listrik hingga pemanfaatan limbah untuk menghasilkan produk
baru," kata Ferian.
"Kami
sebagai peneliti melihat itu sebagai pulang untuk bisa dimanfaatkan
sebesar-besarnya bagi kepentingan Indonesia," tambah dia.