"Mungkin saya memiliki banyak darah di tangan saya. Tapi, itu bukan hal yang sepenuhnya buruk," tegasnya.
Ini kali ketiga sepanjang sejarah saat taktik "pembuatan daftar komunis" dirumuskan oleh intelijen AS dan pejabat kedutaan besar, sebut Bevins. Yang pertama di Guatemala (1954). Kedua di Iran (1963).
Baca Juga:
CIA Bergejolak, Trump Lakukan Pemecatan Besar-Besaran di Badan Intelijen AS
Skala kerusakan di Indonesia melampaui apa yang sudah terjadi di dua negara sebelumnya.
Distribusi daftar "orang komunis," jelas Saskia Wieringa dalam Propaganda and Genocide in Indonesia: Imagined Evil (2018), dibarengi dengan gencarnya militer memproduksi proganda buruk terhadap PKI; bahwa mereka menyiksa jenderal TNI secara sadis dan telah menyiapkan kuburan massal bagi orang-orang yang akan mereka bunuh.
Wakil Menteri Luar Negeri AS, George Ball, saat 1965 meletus, dilaporkan menghubungi Direktur CIA, Richard Helms, guna menanyakan apakah mereka "berada dalam posisi yang secara tegas dapat menyangkal keterlibatan operasi CIA di Indonesia."
Baca Juga:
Tawarkan Pesangon ke Pegawai, CIA Tak Lagi Badan Mata-mata Terkuat Dunia
Helms, seperti dituturkan di The Jakarta Method, membalas "ya."
Dalam sebuah kabel rahasia, CIA mengaku sudah mengetahui sosok Soeharto setidaknya sejak September 1964.
Di situ, CIA menyatakan Soeharto sebagai salah satu jenderal militer yang dianggap "bersahabat" dengan kepentingan AS dan antikomunis. Kabel tersebut juga mengajukan gagasan ihwal koalisi militer dan sipil antikomunis yang mampu merebut kekuasaan dari rezim sebelumnya.