Menurut AS, sikap netral inilah yang menyimpan daya ledak. Asumsinya: tidak memihak sama dengan memihak kelompok Timur—komunis.
Apalagi dalam beberapa kesempatan, Sukarno—di balik netralitas tersebut—justru cenderung mendekat ke Timur, kata AS.
Baca Juga:
CIA Bergejolak, Trump Lakukan Pemecatan Besar-Besaran di Badan Intelijen AS
Pada 1955, Sukarno mengambil perhatian di tengah penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, yang didatangi negara-negara nonblok.
Sukarno adalah orator ulung yang piawai membakar semangat warga. Pesan-pesan populis yang termuat di pidatonya kerap bernuansa sosialis dan disukai masyarakat dalam negeri.
Dengan posisi Sukarno sedemikian rupa, maka AS melihatnya sebagai bentuk ancaman. Kehilangan Indonesia di Asia Tenggara ke spektrum politik Kiri bakal merugikan AS yang sedang membangun kekuatan.
Baca Juga:
Tawarkan Pesangon ke Pegawai, CIA Tak Lagi Badan Mata-mata Terkuat Dunia
Upaya menjegal pengaruh Sukarno lantas ditempuh AS melalui badan intelijen mereka, Central Intelligence Agency (CIA).
Saat Pemilu 1955 berlangsung, CIA mencoba memanipulasi prosesnya dengan—secara diam-diam—memberikan US$1 juta kepada Masyumi, partai Islam sekaligus antikomunis, merujuk Four Who Dared: The Early Years of the CIA karangan Evan Thomas (2006).
Langkah CIA gagal total. Partai Komunis Indonesia (PKI) meraih posisi empat nasional, dengan enam juta suara, di bawah PNI, NU, dan Masyumi. Bersamaan itu, Sukarno pun muncul lebih kuat dibanding sebelumnya.