Kekuatan kelompok pemberontak tidak sekadar berpusat di Padang (PRRI) atau Minahasa (Permesta), melainkan berpeluang menyebar ke Kalimantan, Maluku, hingga Jawa, Dulles menjelaskan.
Mengutip buku Feet to the Fire, bantuan CIA termanifestasi, misalnya, lewat setengah lusin senapan mesin kaliber yang diberikan kepada Permesta. Senjata ini dibungkus kain kanvas dan diangkut menggunakan pesawat C-47 dari Filipina.
Baca Juga:
CIA Bergejolak, Trump Lakukan Pemecatan Besar-Besaran di Badan Intelijen AS
Sedangkan untuk PRRI di Sumatra, CIA menyediakan ribuan senjata bermacam jenis, dari senapan M1, bazoka, granat, hingga peluncur roket. Pembagian senjata dilakukan dengan dua cara: via laut serta udara.
Di laut, CIA mengandalkan kapal tongkang. Di udara, giliran pesawat C-54 yang ditugaskan.
"Begitu C-54 berada di udara, kabar segera disampaikan ke Padang. Beberapa jam sebelumnya, agen CIA mengambil sebuah jeep dan melaju ke pedalaman untuk mengoordinasikan kelompok yang menerima senjata," tulis Conboy serta Morrison.
Baca Juga:
Tawarkan Pesangon ke Pegawai, CIA Tak Lagi Badan Mata-mata Terkuat Dunia
Senjata-senjata itu dijatuhkan dari udara. Pasukan PRRI mengambil kotak-kotak berisikan senjata dari hutan "dan menumpuknya di atas enam truk yang menunggu dalam satu barisan," merujuk keterangan Feet to the Fire.
Keterlibatan CIA pada misi rahasia di Indonesia diberi kode "Haik." Proyek Haik menonjol lantaran efisiensinya. Berbeda dengan misi CIA yang merepresentasikan kebijakan luar negeri AS yang masif, Haik sebaliknya: dia operasi yang disetujui di lingkup terbatas—presiden beserta lingkaran elite CIA saja.
Nasib PRRI dan Permesta tidak bertahan lama. Hanya dalam kurun waktu tiga tahun sejak mereka mengobarkan perlawanan, TNI, di bawah komando AH Nasution, berhasil meredam gerak-geriknya. Ini sudah mencakup penangkapan pilot AS, Allen Pope, yang dituduh hendak mengebom kampung di Ambon, Maluku.