Mereka berpikir bahwa kolonel-kolonel militer yang membangkang dan membangun kekuatannya sendiri adalah pintu masuk yang strategis dalam mengurus masalah di Indonesia, catat Kenneth Conboy dan James Morrison lewat risetnya yang dibukukan, Feet to the Fire: CIA Covert Operations in Indonesia, 1957-1958 (2018).
Permasalahannya, menarik perhatian Washington bukan tujuan para perwira yang memberontak, imbuh Conboy dan Morrison. Mereka mempunyai alasan sendiri—etnis dan ekonomi—dalam melawan otoritas pusat di Jawa serta Sukarno.
Baca Juga:
CIA Bergejolak, Trump Lakukan Pemecatan Besar-Besaran di Badan Intelijen AS
Faktor "mengeyahkan komunisme," sebagaimana yang dibawa AS, tidak masuk tujuan kelompok pemberontak.
Meski begitu, kedua titik ini akhirnya bersemuka; dihubungkan langsung dengan faktor "kebutuhan senjata."
PRRI dan Permesta menyadari kekuatan mereka tidak cukup kokoh andaikata terlibat konfrontasi bersama TNI. Siapa yang pasokan senjatanya melimpah? Amerika Serikat.
Baca Juga:
Tawarkan Pesangon ke Pegawai, CIA Tak Lagi Badan Mata-mata Terkuat Dunia
Pemerintah AS kemudian meminta CIA turun gunung. Agen-agen lapangan diterjunkan guna membangun komunikasi ke pentolan PRRI dan Permesta. Sejak awal, walaupun antusias dengan "dukungan" di Indonesia, pemerintah AS memerintahkan kepada para agennya untuk tidak mengambil keputusan apa pun, mengacu buku Feet to the Fire.
Setelah pertemuan demi pertemuan dilangsungkan, CIA berhenti pada kesimpulan bulat: memasok persenjataan untuk kelompok pemberontak di Indonesia.
Di Washington, Direktur CIA kala itu, Allen Dulles, secara optimistis memberi tahu Presiden Eisenhower betapa kelompok pemberontak berpotensi menciptakan kekacauan untuk pemerintahan Sukarno, berdasarkan informasi yang dia dapatkan dari agen-agen di lapangan.