Berikut, proses dialektis dalam ruang publik mengedepankan tak sekadar fakta empiris, tetapi juga motif moral, karena tanpa keduanya, kritik hanyalah kobaran api yang berpotensi menghanguskan.
Yang ketiga, ruang publik sebagai medan diskursif yang bebas, terbuka, dan transparan.
Baca Juga:
Anggota DPD RI Komeng, Sebut Prabowo Betul-betul Ingin Menyatukan Semua Pihak
Tokoh generasi kedua Mazhab Frankfurt, Jurgen Habermas (lahir 1929), menekankan tindakan komunikatif dalam praksis demokrasi.
Baginya, kritik tanpa adanya ”interaksi komunikatif” (dengan adanya saling pengertian) hanya merupakan tindak penaklukan.
Pandangan Habermas mungkin dipengaruhi hilangnya harapan pada gerakan mahasiswa Kiri yang malah cenderung anarkis dan penuh kekerasan --sebagaimana tertuang dalam Protestbewegung und Hochschulreform (1969).
Baca Juga:
Survei: Mayoritas Konsumen Indonesia Pilih Merek Berdasarkan Sikap Politik
Yang jelas, ia telah mengakhiri kebuntuan Teori Kritis di tangan para pendahulunya (Adorno, Horkheimer, dan Marcuse), sekaligus memberikan pencerahan baru dalam memahami ontologi demokrasi modern di tengah faksionalisme sosial dan ideologis yang kompleks dan tajam.
Kalau Teori Kritis lama penuh pesimisme tanpa solusi yang jelas, Habermas justru memasukkan konsep komunikasi ke dalam gerakan kritis ini yang berlanjut pada pendalaman tentang demokrasi deliberatif.
Ketika berbicara demokrasi deliberatif, Habermas menekankan sentralitas ruang publik sebagai wahana masyarakat untuk menghimpun kekuatan solidaritas melawan mesin pasar dan mesin politik.