Secara diplomatis, Arab Saudi tentu menyambut baik keputusan pemerintahan baru AS di atas terlebih lagi ditekankan bahwa negara adidaya itu akan tetap mendukung Arab Saudi dari serangan musuh-musuhnya.
Namun, alih-alih menyenangkan, secara lebih terbuka, keputusan pemerintahan baru AS di atas hampir pasti akan dipahami sebagai “langkah mundur” yang sangat signifikan bagi Arab Saudi mengingat status Arab Saudi yang selama ini menjadi sekutu AS dan hampir memberikan segalanya kepada “Negeri Paman Sam”.
Baca Juga:
Timnas Indonesia Hadapi Arab Saudi di Kualifikasi Piala Dunia 2026 Putaran Ketiga
Terlebih khusus lagi bila dilihat dari hubungan Arab Saudi-AS dalam pemerintahan Trump yang acap memanjakan “hasrat perang” negara kaya minyak itu, khususnya dalam menghadapi Iran dan pendukung-pendukungnya.
Dari semua “serangan” yang dilakukan AS terhadap Arab Saudi (termasuk persoalan serangan 11 September 2001), kasus pembunuhan Jamal Khashoggi tampaknya menjadi pertarungan yang harus dimenangi Arab Saudi.
Itu sebabnya Arab Saudi melakukan perlawanan total atas laporan intelijen AS yang menuduh MBS berada di balik pembunuhan Jamal Khashoggi.
Baca Juga:
Kanwil Kemenag Kaltara Alokasikan 221.000 Jatah Haji untuk Tahun 2025
Dari tiga kartu politik yang dimiliki, tampaknya kartu “negara-negara Arab” dan kartu “dunia Islam” sudah dimainkan Arab Saudi.
Dalam beberapa waktu ke depan, sangat besar kemungkinan Arab Saudi juga akan menggunakan kartu politik negara-negara Arab Teluk hingga Arab Saudi bisa memenangi pertarungan yang ada.
Ini pertaruhan sekaligus pertarungan mati hidup bagi Arab Saudi, khususnya MBS sebagai Putra Mahkota yang akan menggantikan Raja Salman.