Penguatan Penilaian Hakim
Ketentuan Pasal 183 KUHAP Lama menganut sistem pembuktian negatif-wettelijk tidak diatur lagi dalam KUHAP Baru, akan tetapi ”Pengamatan Hakim” telah menjadi alah satu alat bukti, sedangkan keyakinan hakim dapat timbul dari hasil pengamatan hakim selama persidangan termasuk pada saat Pemeriksaan Setempat, terhadap alat bukti maupun atas keadaan yang mengitari peristiwa pidana sebelum maupun sesudah kejadian.
Baca Juga:
Komisi III DPR RI Akan Bentuk Panja Reformasi Polri, Kejaksaan dan Pengadilan
Artinya walapun secara formal menurut undang-undang (Pasal 235 ayat (1) alat bukti dalam huruf a sampai dengan huruf f) telah terpenuhi namun hakim masih perlu menegasikan sesuai pengamatannya (”pengamatan hakim”) sebagai tambahan alat bukti untuk meyakinkan dalam pertimbangannya dalam menentukan atau menyatakan Terdakwa (orang atau korporasi) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana. Dengan demikian hakim memperoleh ruang lebih luas dalam menilai kualitas bukti selama bukti tersebut: sah, relevan, reliabel, dan diperoleh dengan prosedur yang benar. (Barda Nawawi Arief 2010 :221)
Teori Pembuktian dan Sistem Terbuka
Secara teoretis, sistem pembuktian Indonesia tetap berada dalam kerangka negatif-wettelijk, tetapi dengan pengakuan alat bukti yang lebih terbuka. Perkembangan ini sejalan dengan rekomendasi ahli hukum acara modern seperti Schulhofer, Wigmore, dan Damaska yang mendorong sistem pembuktian fleksibel dalam menghadapi bukti ilmiah modern (Damaska, 1997: 55–60)
Baca Juga:
Kejati Sumut Gelar Upacara HUT ke-80 RI, Wakajati Pimpin Upacara
Penutup
Sistem pembuktian terbuka dalam KUHAP Baru merupakan modernisasi fundamental hukum acara pidana Indonesia. Esensinya meliputi:
1. Perluasan alat bukti termasuk bukti digital dan ilmiah,