Sehingga DPR menganggap berhak mencopot hakim konstitusi dan menggantinya dengan M Guntur Hamzah.
"Sebab kalau itu dipahami sebagai dari maka di situ kesalahpahaman terakhir DPR merasa berhak me-recall (dicopot). Ini kan orang kita (MK) kenapa dia (DPR) membatalkan undang-undang? Kurang ajar ini," tegas Jimly, melansir Tribun News.
Baca Juga:
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas Tegaskan Ibu Kota Negara Masih Jakarta
"Di-recall. Tidak ada dalam sejarah dunia hakim di-recall, tidak ada. Kalau itu dibenarkan maka presiden juga berhak me-recall, Mahkamah Agung juga berhak me-recall, itu kasus Prof Aswanto (dicopot oleh DPR) itu," sambungnya.
Aksi DPR RI mencopot Aswanto sebagai hakim konstitusi merupakan keputusan kontroversial dan dianggap melanggar Pasal 23 ayat 4 UU 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi.
Menurut pasal tersebut, pemberhentian hakim MK hanya dapat dilakukan melalui Keputusan Presiden atas permintaan Ketua MK.
Baca Juga:
Cerita di Depan DPR Tangis Ibu Korban Bully PPDS Undip Pecah
Alasannya pun diatur secara limitatif dalam Pasal 23 ayat 1 dan 2 UU MK.
"Pemberhentian dengan hormat dilakukan atas alasan-alasan di antaranya karena meninggal dunia, mengundurkan diri, berusia 70 tahun, dan sakit jasmani atau rohani," demikian bunyi Pasal 23 ayat 1 UU MK.
Sementara itu, pemecatan hakim konstitusi dapat terjadi jika hakim tersebut divonis penjara sesuai dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum, melakukan tindakan tercela, tidak hadir dalam persidangan tanpa alasan yang sah, melanggar sumpah atau janji jabatan, atau dengan sengaja menghalangi Mahkamah Konstitusi (MK) dalam memberikan keputusan.