"Secara kasat
mata, tidak mungkin seorang buronan kelas kakap seperti Djoko Tjandra yang
telah melarikan diri selama sebelas tahun bisa langsung begitu saja percaya
dengan seorang jaksa yang tidak mengemban jabatan penting di Kejaksaan Agung
untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung melalui Kejaksaan Agung," ujar Kurnia.
Berdasarkan
Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, telah
mengatur terkait fatwa bahwa Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal
yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat
hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini. Permohonan fatwa itu tidak
bisa diajukan oleh individu masyarakat, melainkan lembaga negara.
Baca Juga:
Jaksa Tolak Pleidoi, Kuasa Hukum Supriyani Tetap Yakin Akan Putusan Bebas
Kurnia
menyebut, jika dalam konteks kasus Pinangki ini fatwa
yang diinginkan itu melalui Kejaksaan Agung, maka pertanyaan berikutnya adalah:
apa tugas dan kewenangan Pinangki sehingga bisa mengurus sebuah fatwa dari
lembaga negara, dalam hal ini Kejaksaan Agung?
"Lalu,
apa yang membuat Djoko Tjandra percaya?" ujar Kurnia.
Dugaan
pelanggaran etik lainnya adalah ketiga penyidik diduga tidak menindaklanjuti
hasil pemeriksaan Bidang Pengawasan Kejaksaan Agung.
Baca Juga:
Jaksa Bidik Proyek PSU Milik Suku Dinas PRKP Jakarta Pusat
Dia menyebut,
di banyak pemberitaan disebutkan bahwa dalam laporan hasil
pemeriksaan bidang pengawasan di Kejaksaan Agung, Pinangki sempat mengaku
melapor kepada Pimpinan setelah bertemu Djoko Tjandra sekembalinya ke
Indonesia.
Namun, ICW
menduga, dalam proses penyidikan, penyidik Kejaksaan tidak menelusuri
pimpinan yang dimaksud Pinangki tersebut.
Tak hanya
itu, ICW juga menduga, ketiga penyidik tidak mendalami peran-peran pihak
yang selama ini sempat diisukan terlibat dalam perkara Pinangki.