Untuk itu, mungkin pilihan yang bijak untuk membuat jera pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang korbannya lebih dari satu orang saat ini adalah pidana penjara seumur hidup, yang harus dijalani sampai yang bersangkutan meninggal.
Pilihan ini sekiranya dapat mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana, sekaligus menjadi poena proxima morti, yang dianggap paling dekat dengan pidana mati yang sudah banyak dihapuskan di negara-negara lain.
Baca Juga:
Mensos Minta Pelaku Kekerasan Seksual di Sekolah Harus Dihukum Berat
Hal yang tidak kalah penting adalah perlu dipikirkan bagaimana nasib para korban dari kejahatan seksual dapat dipulihkan kondisi fisik dan psikisnya, dengan suatu harapan besar bahwa korban-korban yang sudah pulih tidak akan menjadi seperti pelaku, dan bahkan dapat menjadi agen perubahan di masa depan.
Atas dasar itulah Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sangat penting untuk segera disahkan menjadi UU karena RUU ini tidak hanya melindungi korban kekerasan langsung, tetapi juga memberikan pendampingan bagi keluarga korban dan saksi yang ingin memberikan kesaksian mereka selama proses hukum.
Kekosongan hukum juga terjadi terkait kasus kekerasan seksual di dunia digital.
Baca Juga:
Petinggi Partai di Kota Bekasi Diduga Lakukan Kekerasan Seksual, Begini Kronologinya
Kasus kekerasan seksual yang terjadi di dunia digital dan prostitusi dalam jaringan (online) yang melibatkan anak di bawah umur tidak dapat dijangkau sepenuhnya oleh KUHP dan UU Perlindungan Anak.
Padahal, perlu dipahami masyarakat bahwa melakukan hubungan seksual dengan anak di bawah umur dengan dalih suka sama-suka tetap merupakan kejahatan.