Urgensi Nasional
Dari data harian Kompas tanggal 16 Desember 2021, RUU TPKS yang awalnya berjudul ”RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” gagal dimintakan persetujuan menjadi RUU inisiatif DPR di Rapat Paripurna DPR hanya karena alasan teknis sehingga Rapat Paripurna DPR berakhir tanpa adanya agenda persetujuan RUU tersebut menjadi RUU inisiatif DPR.
Baca Juga:
Mensos Minta Pelaku Kekerasan Seksual di Sekolah Harus Dihukum Berat
Padahal, pembicaraan tingkat I di Badan Legislasi (Baleg) DPR telah selesai dan menyetujui RUU itu menjadi RUU inisiatif DPR.
Berdasarkan Pasal 20 Ayat 3 UUD 1945, jika suatu RUU tidak mendapatkan persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR di masa itu (tahun 2021) sehingga RUU TPKS harus diajukan kembali dalam rapat paripurna DPR berikutnya di pertengahan Januari 2022.
Sambil menunggu pengesahan RUU TPKS, Jaksa Agung kiranya dapat membuat pedoman penuntutan terhadap pelaku kekerasan seksual yang korbannya lebih dari satu orang.
Baca Juga:
Petinggi Partai di Kota Bekasi Diduga Lakukan Kekerasan Seksual, Begini Kronologinya
Tujuannya untuk memaksimalkan penerapan Pasal 81 Ayat (5) UU Perlindungan Anak, khususnya pidana penjara seumur hidup untuk mencegah pengulangan tindak pidana.
Maraknya kasus kekerasan seksual membutuhkan aturan dan penegakan hukum yang komprehensif dan holistik, sebagaimana adagium: hukum memberi tidak lebih dari yang kita butuhkan, the law gives no more than is needed.
RUU TPKS harus dipandang sebagai suatu urgensi nasional, demi Indonesia yang lebih baik. (Albert Aries, Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti; Anggota Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia)-yhr