WahanaNews.co, Jakarta - Menurut Ahmad Khoirul Umam, Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic), akan sulit bagi PDI Perjuangan dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk bersatu jika keduanya berada dalam posisi oposisi terhadap pemerintahan yang dipimpin oleh Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Umam mengemukakan bahwa kedua partai tersebut memiliki basis ideologi yang sangat berbeda, bahkan bertentangan.
Baca Juga:
KPK Tegaskan Hasto Kristiyanto Bisa Ditahan Meski Proses Praperadilan Berlanjut
"Partai PDI-P dan PKS bisa diibaratkan seperti air dan minyak, karena dasar ideologinya sangat berbeda, bahkan saling berlawanan," ungkap Umam, melansir kepada Kompas.com, Jumat (26/4/2024).
Umam menjelaskan bahwa meskipun PDI-P dan PKS memiliki peluang untuk memainkan peran kritis dalam kebijakan publik, namun keduanya akan menghadapi kesulitan dalam membangun gerakan politik oposisional yang kuat dan efektif karena perbedaan ideologi yang mendasar, yang dapat menimbulkan faksi-faksi yang kuat.
“Jika PKS dan PDI-P menjadi kekuatan oposisi, maka hal itu akan menguntungkan pemerintahan Prabowo-Gibran,” ujar Umam.
Baca Juga:
Blak-blakan Sebut PDIP Memalukan, Effendi Simbolon: Kerjanya Caci Maki Jokowi
Di sisi lain, koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran semakin gemuk dengan tambahan dukungan Partai Nasdem dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Sebelumnya, pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2024, Nasdem, PKB, dan PKS tergabung dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan mengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar sebagai calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres).
Umam mengatakan, Koalisi Indonesia Maju memang masih membutuhkan kekuatan tambahan. Sebab, gabungan suara empat partai pengusung, yakni, Gerindra, Golkar, Demokrat, dan Partai Amanat Nasional (PAN) hanya menghasilkan 43,18 persen kekuatan di parlemen atau setara 48,2 persen kursi DPR RI.