WahanaNews.co, Jakarta - Perubahan yang diterapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) terhadap format debat calon presiden dan calon wakil presiden dalam Pemilihan Presiden 2024 dianggap tidak sesuai dengan tujuan yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Pemilu.
Menurut Neni Nur Hayati, Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, KPU seharusnya memberikan penjelasan yang transparan dan akuntabel kepada masyarakat mengenai perubahan format debat capres-cawapres, bukan hanya memberikan alasan normatif.
Baca Juga:
Pjs. Bupati Labuhanbatu Utara Saksikan Debat Publik Calon Bupati dan Wakil Bupati
"Sebagaimana yang sudah diatur dalam Undang-Undang Pemilu atau PKPU 15 Tahun 2023, debat seharusnya dilaksanakan sebanyak 5 kali, yakni 3 kali untuk capres dan 2 kali untuk cawapres," ungkap Neni, melansir Kompas, Minggu (3/12/2023).
Lebih lanjut, Neni menambahkan, "Fungsinya debat adalah untuk memberikan pendidikan kepada publik, memperoleh dukungan, dan membentuk opini publik. Jadi, jika debat hanya melibatkan cawapres, pertanyaannya, mengapa capres perlu dihadirkan?"
Menurut Neni, perubahan format itu bakal berdampak terhadap masyarakat.
Baca Juga:
Evaluasi Kinerja KPU Toba: Pemuda Kecewa, Demokrasi dalam Pertaruhan
Dia mengatakan, hal itu membuat publik tak bisa menguji gagasan lebih mendalam dan sejauh mana cawapres memahami visi misi telah dibuat.
"Format debat yang disuguhkan dalam pengubahan metode saat ini terkesan hanya one way communication karena tidak membuka ruang dialog terhadap isu-isu yang perlu elaborasi secara serius dan mendalam," ujar Neni yang juga anggota Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Sementara itu, Calon presiden (capres) nomor urut 1 Anies Baswedan mengaku bersyukur berpasangan dengan calon wakil presiden (cawapres) Muhaimin Iskandar.