Peristiwa ini terjadi pada tahun 2016, yakni kasus dugaan suap dalam proyek pengadaan satelit pemantau di Badan Keamanan Laut (Bakamla) senilai Rp 200 miliar. Dari lima orang yang ditangkap saat OTT, empat orang langsung ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Mereka adalah Deputi Bidang Informasi Hukum dan Kerja Sama Eko Susilo Hadi dan Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia, Fahmi Darmawansyah, serta dua pegawainya, Hardy Stefanus dan Muhammad Adami.
Adapun Danang Radityo, yang diduga sebagai anggota TNI, akhirnya dilepas dan KPK hanya bisa berkoordinasi dengan Pusat Polisi Militer (POM) TNI.
Baca Juga:
Didominasi Penegak Hukum, MAKI: Pimpinan Baru KPK Tak Mewakili Masyarakat dan Perempuan
Bambang Udoyo didakwa menerima uang suap senilai SGD 105 ribu atau setara dengan kurang-lebih Rp 1 miliar dari PT Melati Technofo. Uang tersebut diterima sebagai hadiah karena telah memenangkan lelang terkait proyek pengadaan satelit monitoring Bakamla.
Sidang putusan kasus suap terkait proyek satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla) dengan terdakwa Laksma TNI Bambang Udoyo digelar di Pengadilan Tinggi Militer Jakarta. Laksma Bambang didakwa menerima suap senilai SGD 105 ribu atau setara dengan kurang-lebih Rp 1 miliar dalam kasus ini.
Bambang menerima uang tersebut dari Fahmi Darmawansyah (terdakwa lain yang telah divonis di Pengadilan Tipikor Jakarta) melalui anak buah senilai SGD 100 ribu. Uang tersebut diberikan di ruangan Bambang di kantor Bakamla pada 6 Desember 2016.
Baca Juga:
Setyo Budiyanto Terpilih sebagai Ketua KPK: OTT Tetap Senjata Utama
“Dari Uraian diatas, terlihat bahwa TNI tidak kebal hukum. Dalam kasus korupsi sudah ada TNI yang juga dihukum. Akan tetapi proses hukum TNI memang tidak sama dengan proses hukum orang sipil. Itu disebabkan karena anggota TNI sebagai militer diadili di pengadilan dilingkungan peradilan militer, sedangkan yang bukan militer diadili di pengadilan dilingkungan peradilan umum,” urainya.
“KPK tidak berhak menetapkan secara sepihak status tersangka kasus korpus Marsdya TNI Hendry Alfiandi. Penetapan status tersangka kasus korupsi adalah hasil koordinasi paling kurang dgn POM TNI. Pengadilan Marsdya TNI Hendry Alfiandi dapat dilaksanakan pada pengadilan Koneksitas,” beber Soleman Ponto. [alpredo]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.