Selain itu
juga diatur dalam PP Nomor 70 Tahun 2009 tentang Konservasi Energi, PP Nomor 79
Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, Perpres Nomor 22 Tahun 2017
tentang Rencana Umum Energi Nasional, dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 39 Tahun
2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Fisik Pemanfaatan Energi Baru dan Energi
Terbarukan serta Konservasi Energi.
Kendatipun
telah ada berbagai kebijakan dan regulasi yang mengatur EBT, UU EBT tetap
dibutuhkan untuk mengatur hal yang lebih prinsip, yaitu UU EBT yang
revolusioner.
Baca Juga:
Simak! Alasan Mengapa Harga Listrik Energi Hijau Lebih Mahal
Maksudnya
ialah UU EBT yang mengatur secara holistik dan komprehensif mengenai tata
kelola EBT.
Dalam draf
RUU EBT --baik versi 25 Januari 2021 maupun 12 Maret 2021-- terlihat
kecenderungan pengaturan yang belum menyentuh aspek substansial.
Ketentuan
yang diatur, misalnya, lebih banyak seputar persoalan pemanfaatan nuklir
sebagai pembangkit listrik, harga jual EBT, pemberian insentif pengembangan
EBT, dan skema bisnis EBT.
Baca Juga:
Skema 'Power Wheeling' Tenaga Listrik Bisa Tambah Beban Negara
Padahal,
publik menghendaki adanya substansi pengaturan yang mendasar dan visioner.
Beberapa
substansi pengaturan yang perlu dikedepankan ialah mengakomodasi prinsip hukum
energi yang ditawarkan oleh Raphael J Heffron, Anita Rønne, Joseph P Tomain,
Adrian Bradbrook, dan Kim Talus dalam jurnal yang berjudul A treatise for
energy law.
Selanjutnya pemerintah dan DPR dapat mencontoh Korea Selatan yang
mengampanyekan new administration"s energy initiatives.