Langkah uji coba dan pilot project juga menjadi rekomendasi penting dari BPKN sebelum kebijakan diterapkan secara nasional. Ia menilai, tahap percobaan akan memberi gambaran nyata terkait dampak teknis, ekonomi, maupun aspek perlindungan konsumen.
Menurut Mufti, kebijakan energi tidak semata dilihat dari sisi efisiensi dan lingkungan, melainkan juga dari sisi keadilan bagi pengguna akhir.
Baca Juga:
Demo Ricuh dan Sorotan Publik terhadap RUU Perampasan Aset
“Jangan sampai masyarakat justru menjadi pihak yang dirugikan di tengah upaya pemerintah menuju energi hijau,” ujarnya menambahkan.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia telah menyatakan rencana pemerintah untuk memperluas penggunaan bioetanol dalam bahan bakar bensin. Rencana awal mencakup pencampuran 10 persen etanol atau E10 ke dalam BBM jenis bensin.
Langkah tersebut disambut beragam. Sebagian pihak menilai kebijakan ini selaras dengan target net zero emission dan strategi diversifikasi energi nasional, sementara sejumlah produsen SPBU swasta justru menolak membeli base fuel dari Pertamina karena adanya kandungan etanol di dalamnya.
Baca Juga:
BPKN: LMKN Wajib Transparan Soal Royalti Lagu, Regulasi Jangan Bebani UMKM
Pihak Kementerian ESDM menegaskan bahwa penggunaan etanol bukan hal baru dan telah diterapkan di banyak negara maju. Dirjen Migas Laode Sulaeman menjelaskan bahwa spesifikasi utama BBM di Indonesia tetap ditentukan oleh angka Research Octane Number (RON), bukan semata kandungan etanol.
Di sisi lain, beberapa produsen otomotif menilai kebijakan ini berpotensi meningkatkan angka oktan sekaligus mengurangi emisi karbon kendaraan. Namun, BPKN tetap mengingatkan akan adanya tantangan teknis dan risiko yang perlu dikendalikan sejak awal.
Menurut catatan BPKN, risiko yang mungkin timbul mencakup penurunan performa dan umur mesin jika kadar etanol atau bahan aditif tidak tepat, hingga korosi atau kerusakan pada sistem bahan bakar.