Menurut dia, modus penipuan yang disebut “rekayasa sosial” ini memanfaatkan ketidakwaspadaan atau kelengahan korban. Ia mengatakan salah satu celah yang dimanfaatkan pelaku adalah juga rendahnya pemahaman masyarakat ihwal produk keuangan atau literasi keuangan.
Berdasarkan data OJK, tingkat inklusi keuangan di Indonesia mencapai 76 persen, sementara tingkat literasi keuangan masih berada di 38 persen.
Baca Juga:
Industri Fintech Bergolak di IFSE 2024, OJK Serukan Perlindungan Konsumen
Artinya, masih ada kesenjangan yang cukup jauh antara yang mampu mengakses keuangan dan yang mengerti produk keuangan.
“Ketimpangan ini menimbulkan risiko kerentanan karena, walaupun sebagian masyarakat sudah memiliki produk keuangan, namun tidak benar-benar memahami manfaat, biaya, atau risiko dari produk tersebut,” tutur Sekar.
Sekar berujar, OJK telah meluncurkan Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan yang telah memuat manajemen risiko teknologi informasi yang mencakup pula keamanan siber bank umum.
Baca Juga:
OJK dan FSS Korea Bahas Pengawasan Lintas Batas dan Kerja Sama Keuangan
Bank-bank, kata dia, harus menerapkan kebijakan manajemen risiko keamanan siber, antara lain memiliki program untuk meningkatkan kesadaran karyawan dan nasabah perihal kerentanan siber yang berkembang, misalnya rekayasa sosial melalui media sosial.
Secara preventif, ujar dia, OJK bersama seluruh pelaku usaha jasa keuangan terus melakukan edukasi dan sosialisasi untuk meningkatkan literasi, termasuk literasi digital.
Terutama, memberikan pemahaman kepada nasabah ihwal kewajiban melindungi data pribadi. Nasabah juga diimbau melakukan konfirmasi melalui nomor resmi bank apabila menerima penawaran yang disampaikan melalui media sosial.