Pada Senin, Perdana Menteri Mustafa al Khadimi mengumumkan pihaknya berhasil menahan Sami Jasim al-Jaburi, tangan kanan dedengkot ISIS, Abu Bakar al Baghdadi, dalam sebuah operasi keamanan "di luar perbatasan Irak," tulisnya via Twitter.
Hingga kini belum jelas siapa yang mengumpulkan suara terbanyak dalam pemilu teranyar. UU Pemilu yang baru memang membuka peluang bagi calon independen yang diusung kelompok demonstran.
Baca Juga:
2 Terduga Teroris Jaringan ISIS Ditangkap Densus 88 di Jakarta Barat
Namun mereka diyakini akan kalah bersaing dengan calon dari partai politik yang kebanyakan didukung milisi-milisi bersenjata terbesar di Irak.
Dominasi Syiah terancam perpecahan
"Ketidakpercayaan publik sangat rendah. Mereka tidak lagi percaya pemilu bisa membawa perubahan," kata peneliti politik Irak, Sajad Jiyad, di wadah pemikir Century Foundation. "Tingkat partisipasi ini adalah peringatan. Karena bukan cuma legitimasi perdana menteri yang dipertanyakan, tetapi juga legitimasi pemerintah, negara dan semua sistem."
Baca Juga:
Dalang Penembakan Massal di Moskow Diduga ISIS Cabang Afghanistan
Kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan faksi Syiah diyakini akan mendulang suara terbanyak, sebagaimana yang lazim sejak pemilu 2003. Suara Syiah di Irak kali ini terbelah dua, antara Moqtada Sadr dan Aliansi Fatah pimpinan Hadi al-Ameri yang berkiblat kepada Iran.
Aliansi Fatah terdiri dari sejumlah partai-partai politik yang berkaitan dengan Pasukan Mobilisasi Rakyat (PMF).
Kelompok ini mendulang dukungan politik setelah ikut membantu menaklukkan Islamic State, dan diperkuat gerilayawan binaan Iran, seperti milisi Asain Ahlul Haq yang dikategorikan sebagai kelompok teror oleh AS.