Tidak ada obrolan riuh seperti yang biasa terdengar saat para warga bergotong royong memasang bendera dan umbul-umbul.
Orang-orang dewasa bahkan seolah bersepakat untuk bersikap sama di hadapan anak-anak mereka yang tiada henti bertanya tentang jadwal lomba agustusan.
Baca Juga:
Jokowi dan Suara Parpol soal Amandemen UUD
Semuanya satu suara menyalahkan Covid-19 yang entah kapan bakal hengkang dari negeri ini, sebelum menyuruh anak-anak itu tutup mulut, melupakan soal lomba.
Namun siapa sangka, sikap pesimis yang ditunjukkan orang-orang dewasa ini justru memunculkan reaksi yang berbeda dari anak-anak mereka.
Dalam keterangan penutup untuk novelnya, Di Tepi Kali Bekasi, Pramoedya Ananta Toer menyebutkan bahwa pertempuran melawan penjajah pada masa revolusi merupakan "epos tentang revolusi jiwa --dari jiwa jajahan dan hamba menjadi jiwa merdeka."
Baca Juga:
Meretas Heroisme Cut Nyak Dhien lewat Mahakarya Eros Djarot
Dengan berbekal senjata seadanya, termasuk bambu runcing, dan tanpa pendidikan kemiliteran, para pemudi dan pemuda pada zaman itu berjuang untuk melepaskan diri dari jiwa jajahan demi menjadi jiwa merdeka.
Kini, anak-anaklah yang berusaha membangkitkan kembali revolusi jiwa tersebut demi melepaskan diri dari jiwa "terjajah" Covid-19.