WAHANANEWS.CO, Jakarta - Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Mabes Polri resmi menetapkan Halim Kalla, Presiden Direktur PT Bumi Rama Nusantara (BRN) sekaligus adik kandung mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat dengan kapasitas 2x50 megawatt di Desa Jungkat, Kecamatan Siantan, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat.
Kepala Kortas Tipikor Polri Irjen Cahyono Cahyono mengungkapkan bahwa indikasi korupsi sudah muncul sejak tahap awal perencanaan proyek, karena adanya dugaan permainan dan pengaturan kontrak untuk memenangkan pihak tertentu.
Baca Juga:
KPK Bongkar Keterlibatan Abdul Halim, La Nyalla, dan Khofifah di Kasus Dana Hibah Jatim
“Artinya ada permufakatan di dalam rangka memenangkan pelaksanaan pekerjaan, setelah dilakukan kontrak, kemudian ada pengaturan-pengaturan sehingga ini terjadi keterlambatan yang mengakibatkan sampai dengan tahun 2018 itu sejak tahun 2008 sampai 2018 itu diadendum,” ujar Irjen Cahyono dalam konferensi pers di Bareskrim Polri.
Kasus ini bermula pada tahun 2008 ketika PT PLN (Persero) menggelar lelang ulang untuk proyek pembangunan PLTU 1 Kalbar.
Namun, sebelum proses lelang dilaksanakan, diduga telah terjadi permufakatan antara pihak PLN dan PT BRN agar perusahaan tersebut keluar sebagai pemenang tender.
Baca Juga:
Diduga Perusahaan HM Tak Kantongi Izin Melakukan Galian C Di Tanjab Barat
Dalam prosesnya, panitia pengadaan PLN tetap meloloskan dan memenangkan konsorsium KSO BRN–Alton–OJSC meskipun tidak memenuhi syarat administrasi maupun teknis.
Fakta lain mengungkap bahwa perusahaan Alton dan OJSC sebenarnya tidak pernah tergabung dalam konsorsium yang dibentuk oleh PT BRN, namun tetap tercantum dalam dokumen KSO yang diloloskan.
Pada 2009, sebelum penandatanganan kontrak dilakukan, KSO BRN diduga mengalihkan sebagian besar pekerjaan kepada PT PI, termasuk kendali atas rekening proyek, dengan imbalan fee tertentu kepada pihak BRN.
Ketika kontrak ditandatangani pada 11 Juni 2009, pihak PLN sejatinya belum memiliki pendanaan yang cukup dan mengetahui KSO BRN belum melengkapi persyaratan wajib.
Hingga masa kontrak berakhir pada 28 Februari 2012, progres pekerjaan baru mencapai sekitar 57 persen.
Meskipun telah dilakukan 10 kali amandemen hingga kontrak terakhir pada 31 Desember 2018, proyek tetap tidak selesai dan hanya mencapai 85,56 persen dengan alasan ketidakmampuan keuangan dari pihak pelaksana.
Di sisi lain, penyidik menduga adanya aliran dana mencurigakan dari rekening KSO BRN kepada sejumlah pihak, termasuk para tersangka.
Nilai transaksi yang tercatat mencapai Rp 323 miliar untuk pekerjaan konstruksi sipil dan US$ 62,4 juta untuk pekerjaan mekanikal dan elektrikal.
Kepolisian kini terus mendalami potensi keterlibatan pihak lain dalam kasus ini, termasuk kemungkinan adanya pejabat PLN yang turut menikmati hasil proyek yang bermasalah tersebut.
Kasus korupsi proyek PLTU ini menjadi salah satu sorotan besar publik karena melibatkan figur dari keluarga besar nasional, sekaligus menambah daftar panjang proyek infrastruktur energi yang bermasalah di Indonesia.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]