Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) memberikan landasan hukum yang jelas untuk menindak modus ini. Pengambilan atau pembelian KTP orang lain untuk tujuan pembuatan rekening judi merupakan perolehan data pribadi secara melawan hukum sebagaimana dilarang dalam Pasal 65 ayat (1) UU PDP. Ancaman pidananya tidak ringan: penjara hingga lima tahun dan/atau denda sampai Rp5 miliar.
Lebih jauh, penggunaan KTP tersebut dalam proses electronic know your customer (e-KYC) perbankan dengan berpura-pura sebagai pemilik sah juga memenuhi unsur penggunaan data pribadi bukan miliknya, sebagaimana diatur Pasal 65 ayat (3) UU PDP.
Baca Juga:
Pakar Hukum Nilai SKCK Batasi HAM: Layak Dihapus
Artinya, sejak tahap awal pendaftaran rekening, tindak pidana sudah terjadi, terlepas dari apakah rekening tersebut akhirnya digunakan atau belum.
Dimensi Kejahatan Siber dan Manipulasi Data
Karena seluruh proses berlangsung melalui sistem elektronik perbankan, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga relevan. Memasukkan data orang lain ke dalam sistem elektronik untuk menghasilkan akun yang tampak sah, tetapi dikuasai pihak lain, dapat dikualifikasikan sebagai manipulasi informasi elektronik.
Baca Juga:
Ahli Nilai MK Perjelas Aturan untuk Polisi Soal Kasus Anak yang Diambil Paksa
Pasal 35 UU ITE menegaskan larangan menciptakan atau memanipulasi data elektronik seolah-olah data tersebut otentik. Dalam konteks rekening judi online, keotentikan identitas jelas direkayasa.
Rekening sebagai Instrumen Pencucian Uang
Ketika rekening tersebut digunakan untuk menampung dana hasil judi online, dimensi hukum bertambah serius. Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, baik pihak yang secara aktif mengelola rekening maupun pihak yang “menyediakan” rekening dapat dijerat pidana.