Setelah mendapat tes kesehatan hingga pelatihan, ada saja pekerja yang tidak mau disalurkan dan minta dipulangkan ke kampungnya.
“Memang ada peraturan kita buat jika ada kasus seperti ini pekerja wajib mengganti semua biaya. Tapi mereka banyak yang tidak mau menggantinya, bahkan terkadang ada yang bawa-bawa keluarga dan menuntut perusahaan,” jelasnya.
Baca Juga:
Institut Sarinah: Pengesahan RUU PPRT, Memanusiakan Perempuan
Yuliani sendiri bisa memahami kondisi ini karena memang rata-rata mindset pekerja dari daerah masih seperti itu.
Terkait tenaga pelatihan untuk PRT dan baby sitter, Yuliani mengklaim punya lembaga pelatihan kerja (LPK) sendiri dengan dua orang tenaga trainer, satu senior yang berpengalaman menjadi PRT dan satu lagi seorang bidan untuk melatih baby sitter.
Untuk menjalankan usaha ini, Yuliani tergolong tidak mempunyai banyak karyawan. Tenaga admin satu orang, sisanya marketing, bagian rekrutmen hingga tenaga trainer.
Baca Juga:
Soal RUU PPRT, HMI Minta DPRD Jawa Barat Segera Ambil Sikap
“Karyawan ya kurang lebih 5 orang lah,” kata dia yang mengaku hanya menyalurkan PRT dan baby sitter di wilayah Jabodetabek.
Meski tidak mendapatkan banyak keuntungan di jasa PRT dan baby sitter, Yuliani masih bisa bersyukur karena biaya operasional termasuk biaya gaji karyawan masih bisa terbayarkan.
“Walaupun untungnya tidak seberapa, yang penting saya bisa bantu orang,” pungkas Yuliani yang mengaku punya bisnis lain di SDM yaitu perekrutan tenaga sekuriti atau satpam.