Seperti dijelaskan Tarleton Gillespie, istilah platform menyeruak perbincangan publik dengan suatu ambiguitas.
Di satu sisi, platform digital seperti Google dan Facebook menempatkan diri sebagai penyelenggara dan kurator ruang publik digital.
Baca Juga:
Upaya Wujudkan Jurnalisme Berkualitas, Presiden Jokowi Teken Perpres Publisher Rights
Di sisi lain, mereka merasa tak bertanggung-jawab atas konten yang menyebar atau didiskusikan di ruang publik itu.
Padahal, persebaran konten dan diskusi di ruang media sosial tidak sepenuhnya terjadi secara alamiah, alih-alih melalui intervensi algoritmis platform digital.
Algoritma ini menyeleksi, menata dan memberi prioritas atas konten pengguna, serta menentukan tipe percakapan yang direkomendasikan untuk diikuti pengguna.
Baca Juga:
Mendag: Platform Digital Harus Bermanfaat dan Tak Rugikan UMKM
Platform digital dalam hal ini secara arbitrer menerapkan parameter utama penyebaran konten pengguna: shareability.
Algoritma platform digital tanpa banyak disadari juga membentuk gelembung-gelembung isolatif yang mengurung pengguna untuk terus berasyik-masyuk dalam kerumunan orang-orang dengan kesamaan ideologis, identitas, orientasi ekonomi atau gaya hidup.
Maka, bagi peneliti studi platform seperti Gillespie, klaim imparsialitas dan netralitas platform digital itu tidak masuk akal dan cenderung menyesatkan.