Pertimbangannya, perantara digital hanya memerantai konten, tidak melakukan monetisasi dan tidak berperan sebagai publisher.
Ditegaskan Gillespie, regulasi safe harbor itu tak didesain untuk platform media sosial dengan lingkup operasi yang kompleks seperti belakangan ini.
Baca Juga:
Upaya Wujudkan Jurnalisme Berkualitas, Presiden Jokowi Teken Perpres Publisher Rights
Safe harbor dimaksudkan untuk mengatur perusahaan ISP, website amatir, desainer website, komunitas diskusi daring, dan mesin pencari format paling awal seperti Yahoo dan Altavista.
Saat safe harbor dilembagakan, Facebook, Twitter, Google Search belum mencapai tahap perkembangan yang memungkinkannya menjalankan kurasi algoritmis, monetisasi konten, surveilens, penambangan data yang sangat ekstensif sekaligus intensif seperti belakangan ini.
Saat itu, juga belum ada masalah penyebaran ujaran kebencian, kabar bohong dan berita palsu melalui platform medsos yang memecah belah masyarakat, khususnya dalam momentum pemilu, di berbagai negara seperti terjadi dewasa ini.
Baca Juga:
Mendag: Platform Digital Harus Bermanfaat dan Tak Rugikan UMKM
Juga belum ada komplikasi penggunaan platform medsos sebagai corong propaganda teroris, sarana penyebaran konten pornografi, rasialisme dan konten merusak lainnya.
Belum ada skandal Cambridge Analytica yang menghebohkan dunia itu!
Singkat kata, prinsip safe harbor tak memadai sebagai mekanisme perlindungan bagi platform digital dari tuntutan tanggung jawab atas dampak yang mereka timbulkan dewasa ini.