Padahal, katanya, sedikit-banyak kebesaran Deddy juga tak bisa lepas dari peran pers.
Dan, menurut Rosi, koar-koarnya Deddy soal “perilaku aneh” pers itu sangat tidak membantu perkembangan industri media, bahkan cenderung menjadi ganjalan.
Baca Juga:
Ketum PWI Pusat Hendry Ch Bangun: Pers Harus Berwawasan Kebangsaan dan Menjaga Integritas di Era Post-Truth
Karena, di mata Rosi, apapun yang disampaikan Deddy Corbuzier lewat podcast “Close The Door”-nya itu bisa sangat berpengaruh di ranah publik.
Ketika Deddy mengklarifikasi sikapnya itu gegara ulah beberapa media tertentu, akhirnya bersepakatlah mereka bahwa memang masih ada sederet persoalan yang harus dituntaskan, baik dalam industri pers maupun medsos.
“Kalau Lu tahu, Ded, hampir setiap hari Gue ini juga perang terus soal itu di dalam,” kata Rosi, seolah menyiratkan bahwa ia pun sebetulnya melakukan perjuangan yang sama dengan Deddy, tapi lewat cara berbeda.
Baca Juga:
Bahaya Doxing: Ancaman terhadap Keselamatan Jurnalis dan Kualitas Informasi Publik
Akhirnya, ketika melihat keduanya berpelukan, saya seakan menyaksikan hadirnya sebuah kekuatan raksasa.
Betapa bakal makin terpercayanya industri informasi publik di negeri ini.
Berhentinya upaya saling membusukkan, antara terminologi “medsos pabrik hoaks” versus “pers gudang info sesat”, juga stopnya aksi “merasa paling benar”, dan berganti dengan kolaborasi saling tambal, saling tutup lubang, saling melengkapi, dan kesaling-salingan bernuansa positif lainnya, tentu bakal menjadikan industri “dagang informasi” di Indonesia kian mengerikan.