Jika Perkap justru menyusun daftar 17 lembaga yang boleh diisi Polri aktif, maka itu bukan penerjemahan—melainkan pembangkangan normatif. Kapolri tidak diberi kewenangan oleh UUD 1945 maupun Mahkamah Konstitusi untuk menciptakan norma pengganti atas norma yang telah dibatalkan.
2. Soedeson Tandra (Anggota DPR RI) mengatakan Perkap memberi kepastian hukum. Ini adalah logika terbalik yang berbahaya.
Baca Juga:
Kritik Suharyanto soal Bencana Sumatera, Saldi Isra Desak Evaluasi Penempatan TNI di Kementerian
Kepastian hukum tidak pernah sah jika dibangun di atas pelanggaran konstitusi. Justru Putusan MK hadir karena praktik lama menciptakan ketidakpastian hukum. Ketika Perkap menghidupkan kembali substansi yang telah dibatalkan MK—dengan alasan “penugasan Kapolri”—maka yang diciptakan bukan kepastian hukum, melainkan kepastian pelanggaran.
Negara hukum tidak mengenal konsep: asal tertib, boleh melanggar UUD.
3. Hasbiallah Ilyas (F-PKB) menyebut Perkap konstitusional karena masih “relevan” dengan tugas Polri. Ini adalah argumen paling berbahaya dalam negara hukum.
Baca Juga:
Di Hadapan Hakim MK, Firdaus Oiwobo: Banyak Advokat yang Disumpah Pakai Ijazah Ilegal
Konstitusionalitas tidak diukur dengan rasa relevan, melainkan dengan teks UUD 1945 dan tafsir Mahkamah Konstitusi. Jika “relevansi” ditentukan oleh DPR atau Kapolri, maka tidak ada lagi batas. Semua jabatan sipil bisa dilabeli “relevan”.
Inilah pintu masuk polisi di mana-mana, yang bertentangan langsung dengan:
• Pasal 30 ayat (4) UUD 1945