Butet menyebutnya "kurikulum hadap
masalah".
Jika di Jambi, Sokola Rimba memampukan
masyarakat adat melawan pencuri kayu, maka di Sokola Pesisir masyarakatnya
dibuat melek kiat menghadapi pengebom ikan.
Baca Juga:
Edy Rahmayadi Kampanye Akbar di Labura: Fokus pada Pendidikan, Kesehatan, dan Infrastruktur
"Aku hanya memberi prinsipnya saja bahwa,
'Kamu punya hak atas tanah ini'," kata Butet.
Pendidikan yang memerdekakan semacam inilah
yang mustahil diakomodasi oleh program seperti kurikulum nasional yang
terobsesi dengan skor dan keseragaman.
Melawan perambah hutan, atau memaksimalkan
hasil panen rumput laut, tentu tak bisa ditolong dengan ingatan rumus fisika
atau hafalan tabel periodik.
Baca Juga:
Pj Wali Kota Madiun Resmikan Sekolah Terintegrasi untuk Peningkatan Kualitas Pendidikan
Indonesia jelas terlalu luas dan berwarna untuk
dipaksa mengikuti standar Jakarta dan kota-kota besar.
"Kita menghargai Bhinneka Tunggal Ika, tapi
kurikulumnya seragam. Itu tidak mungkin," ungkap Butet.
"Kalau model pendidikan kita seragam,
wajar orang di Papua jadi kayak orang di Jakarta, inginnya cari duit, identitas
tidak penting lagi. Murid-murid aku di Rimba, tidak ada yang meninggalkan
Rimba," tukasnya.