Begawan pemikir pendidikan dunia asal Brasil,
Paulo Freire, jauh-jauh hari telah mewanti-wanti bahayanya pendidikan yang
tidak peka terhadap konteks lokal.
Menurutnya, "seseorang tidak bisa
berharap dampak baik dari pendidikan yang gagal menghargai sudut pandang
masyarakat tertentu."
Baca Juga:
Edy Rahmayadi Kampanye Akbar di Labura: Fokus pada Pendidikan, Kesehatan, dan Infrastruktur
"Pendidikan seperti itu adalah invasi
kebudayaan, meski mulanya dimaksudkan sebagai niat baik," tulis Freire
dalam magnum opus-nya, Pedagogy of The Oppresed (1970).
Sejak awal, lewat pendidikannya, Sokola bukan
bermaksud memodernkan masyarakat adat.
Anak-anak dapat belajar di mana saja, dalam
kondisi mana-suka, dengan maupun tanpa seragam atau alas kaki.
Baca Juga:
Pj Wali Kota Madiun Resmikan Sekolah Terintegrasi untuk Peningkatan Kualitas Pendidikan
Namun, Sokola juga bukan berniat memuseumkan
masyarakat adat dalam jampi-jampi eksotisme kehidupan tradisional.
Sekolah yang sudah bisa bergerak sendiri bahkan
tak perlu lagi bergantung pada Sokola.
Sokola Kaki Gunung di lereng Gunung Argopuro,
Jember, Jawa Timur, misalnya, pada 2020 lalu sudah diambil-alih oleh masyarakat
setempat.