"Tidak mudah sebenarnya," ujar Butet, "Mereka
(relawan) harus belajar bahasa lokal."
"Mereka selalu mendapat shock culture,
biarpun sudah digembleng, karena cara hidup, bahasa, hilang sinyal, putus
pacar. Walaupun dia sering ke gunung, tapi pernahkah ke gunung sebulan? Kan
tidak. Ini malah dua tahun," ucapnya.
Baca Juga:
Realisasi Anggaran Pendidikan Hingga Oktober 2024 Capai Rp463,1 Triliun
Pada akhirnya, relawan-relawan Sokola mampu
bertahan karena, laiknya Butet dulu, mereka menemukan zona nyaman di
tengah-tengah masyarakat adat.
Tak terbersit kegalauan lantaran telah melepas
kemapanan ala hidup modern.
"Aku dulu takut membayangkan kerja di
Sudirman," aku Butet, geli.
Baca Juga:
Pemerintah Sulbar Gandeng Perguruan Tinggi Percepat Pendidikan Vokasi, Termasuk UNM
"Awalnya aku juga shock culture, tapi
lama-lama terbawa mereka (orang Rimba). Kita belajar sambil selonjoran,
menunjuk papan tulis pakai kaki. Gila, enak banget. Aku beruntung banget bisa
punya pekerjaan seperti ini."
Atas usahanya meningkatkan kualitas hidup
masyarakat adat, Butet diganjar Ramon Magsaysay Award, penghargaan yang
dianggap Hadiah Nobel versi Asia, pada 2014.
Sepuluh tahun sebelumnya, majalah TIME
mendapuknya sebagai Heroes of Asia 2004.