Oleh RENE L PATTIRADJAWANE
Baca Juga:
2 Terduga Teroris Jaringan ISIS Ditangkap Densus 88 di Jakarta Barat
DUA puluh tahun lalu, liberalisme perdagangan dan demokrasi yang dielukan sebagai jalan utama globalisasi, menghasilkan mimpi buruk baru yang tak pernah terbayangkan setelah serangan Jepang ke Pearl Harbour, Hawai, AS, pada Desember 1941.
Serangan udara terorisme terhadap kota New York dan Washington 11 September 2001 (dikenal sebagai 9/11), membawa mimpi buruk berkelanjutan, gagalnya AS membangun kebebasan demokrasi dan kalah di Afghanistan ketika Taliban kembali menguasai negara itu.
Baca Juga:
Min Aung Hlaing Tuduh Negara-Negara Dukung Konflik Myanmar dengan Pemasokan Senjata
Serangan udara teroris 9/11 menghadirkan mimpi buruk tidak hanya bagi bangsa Amerika, tapi juga semua negara yang tercekam dalam ketakutan akan aksi teror yang menelan ribuan jiwa orang-orang yang tak bersalah.
Semua orang di dunia geram menyaksikan secara langsung bunuh diri pesawat komersial ke dua menara kembar di kota New York.
Angka resmi menyebutkan, 2.996 orang tewas dalam aksi teror paling masif tahun 2001 itu.